Terima kasih kepada pengunjung blog ini. Anda bebas mengcopy dan membagikan artikel di dalam blog ini. Tapi hanya ada satu pesan penulis untuk anda, Jangan lupa mencantumkan link artikel yang anda copy atau bagikan, karena itu merupakan apresiasi kepada penulis blog ini. Terima kasih.

Kolaborasi Soekarno dan Hatta Dalam Politik Nasional

Perjuangan kemerdekaan Indonesia dimulai pada sekitar tahun 1920-an, dengan para tokoh-tokoh yang menjadi pemimpin pergerakan seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Agus Salim, Tjokroaminoto dan lain sebagainya. Perjuangan Indonesia dalam mencapai kemerdekaannya melewati tiga masa yaitu zaman pergerakan, masa pendudukan Jepang dan masa Kemerdekaan.

Masa Pergerakan
Cita-cita untuk mencapai suatu negara Indonesia yang merdeka pertama kali dirumuskan sejak akhir tahun 1920-an dan awal tahun 1930-an. Cita-cita ini diawali dengan munculnya sekelompok kecil mahasiswa dan cendikiawan muda yang memandang dunia modern merupakan sebuah tantangan terhadap masyarakat Indonesia. Dalam tahun 1920-an jumlah anggota kelompok tersebut meningkat pesat. Khusus diantara mereka ada yang menuntut ilmu di luar negeri, sebagai contoh Hatta dan Tan Malaka yang kuliah di Rotterdam, Belanda. Para mahasiswa tersebut banyak dipengaruhi oleh ideologi-ideologi yang berkembang pesat di luar negeri, seperti Sosialisme, Komunisme, Liberalisme, Nasionalisme India, Cina dan Jepang.
Munculnya gerakan nasionalis radikal di tanah air, memang tidak terlepas dari andil mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia (PI). Adalah sosok Hatta yang tanpa mengenal lelah berhasil mengubah arah pergerakan PI menjadi organisasi politik yang radikal. Bahkan secara tidak langsung, Hatta menjadi peletak dasar pergerakan nasionalis yang radikal di tanah air yang mengarah ke Indonesia merdeka. Soekarno berhasil mengolah cara-cara Hatta dengan baik, bahkan menjadi lebih radikal darpada yang digagas oleh Hatta.

Awalnya anggota PI kecewa atas sepak terjang organisasi politik yang ada di tanah air. Mereka melihat dari sepak terjang tiga organisasi politik terbesar yang ada di Indonesia yaitu : Budi Utomo, Sarekat Islam dan Partai Komunis Indonesia. SI dianggap lebih berwatakkan Islam, sehingga pihak dari luar Islam sulit untuk masuk. Budi Utomo terlalu bersifat kedaerahan, dimana anggotanya banyak yang berasal dari orang Jawa. PKI memang partai radikal yang anti kolonialisme, tetapi anggota PI umumnya tidak suka komunisme dijadikan dasar perjuangan menuju Indonesia merdeka.
Melihat kondisi tersebut, PI merasa perlu dibentuknya sebuah partai politik di Indonesia yang sejalan dengan ideologi PI. Wawan T. Alam (2003 : 38) dalam bukunya “Demi Bangsaku, Pertentangan Soekarno VS Hatta” menyatakan tentang Ideologi dan prinsip perjuangan PI merupakan hasil pemikiran Hatta yaitu :
1. Persatuan Nasional : hanya satu Indonesia yang merasa bersatu dan mengesampingkan perbedaan-perbedaan antar kelompok yang dapat mematahkan kekuatan penjajah
2. Solidaritas : turut sertanya semua lapisan bangsa Indonesia dalam perjuangan bersama mencapai kemerdekaan adalah pula suatu syarat mutlak untuk mencapai cita-cita itu
3. Non-kooperasi : unsur yang dominan dan penting dalam setiap masalah ketatanegaraan kolonial adalah pertentangan kepentingan antara pihak penjajah dan yang dijajah. Kecondongan politik penguasa untuk menghilangkan dan menyembunyikan unsur-unsur itu harus dijawab oleh pihak yang dijajah dengan mempertajam dan menekankan pertentangan-pertentangan itu.
4. Self-help (membantu diri sendiri/swadaya) : mengingat pengaruh penjajahan yang melumpuhkan dan merusak moral, kondisi psikis dan fisik yang hidup di Indonesia, maka kita harus bekerja keras agar hubungan-hubungan rohani dan jasmani menjadi normal kembali.
Atas saran dari Hatta semua lulusan yang merupakan anggota PI sekembali mereka ketanah air diharapkan mampu menjadi pemimpin pergerakan nasional di Indonesia. Para alumni PI tersebut mulai masuk ke dalam organisasi politik seperti SI, PNI kecuali PKI. Soekarno berkolaborasi dengan para mantan anggota PI yang pulang ke tanah air. Sekitar bulan Agustus 1926 dibentuklah suatu Komite Persatuan Indonesia dan juga menerbitkan majalah bulanan Soeloeh Indonesia Moeda yang diterbitkan mirip dengan Indonesia Merdeka milik PI. Soekarno menjadi pemimpin dewan redaksi dan di majalah tersebut Soekarno menuliskan gagasannya. Soekarno cukup intensif bergabung dengan alumni anggota PI yang lain untuk membicarakan masa depan negerinya.
Soekarno boleh dibilang banyak menyerap ideologi yang dibawa pulang oleh para aktifis PI tersebut. Bahkan beberapa pokok pikirannya sudah ada dalam propaganda PI dan garis kesimpulan yang diambil Soekarno sama dengan garis kesimpulan yang di ambil oleh Hatta. Sebagai contoh adalah Hatta menegaskan bahwa Belanda tak mungkin memberikan kemerdekaan kepada Indonesia karena faktor ekonomi, dimana Indonesia merupakan sumber ekonomi yang vital bagi Belanda. Sementara Soekarno dengan ciri khasnya dapat menggambarkan lebih populis, lebih mudah diterima dan dicerna oleh rakyat Indonesia. Hasilnya, Soekarno cepat menjadi populer di mata rakyat Indonesia.
Sementara itu, para alumni anggota PI di Indonesia ingin membentuk partai baru, dan keinginan tersebut sejalan dengan keinginan Hatta untuk mendirikan partai nasional di Indonesia. Melalui surat, Hatta menyarankan agar didirikan Sarekat Ra’yat Nasional Indonesia dan menyelenggarakan kongres nasional untuk meresmikan partai tersebut. akan tetapi, rencana pembentukan tersebut ditolak oleh orang-orang nasionalis di Indonesia terutama Soekarno. Soekarno merasa yakin bahwa beliau lebih paham mengenai keadaan Indonesia dibandnigkan dengan pengurus PI di Belanda.
Penolakan Soekarno dan golongan nasionalis Indonesia tersebut bukan semata-mata menolak usulan yang di berikan Hatta dan PI mengenai pembentukan sebuah partai, akan tetapi mereka mempunyai rencana lain dan juga menginginkan didirikannya sebuah partai. Dalam arti kata, usulan Hatta dan PI dijadikan semacam masukan dan inspirasi oleh Soekarno untuk mendirikan partai. Soekarno dan Sartono (mantan anggota PI didikan Leiden) mengadakan pertemuan dan hasil pertemuan itu diputuskan secara terbuka rencana pembentukan partai politik yang akan dinamakan Perserikatan Indonesia yang kemudian diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Anggaran Dasar sementara PNI mengambil anggaran dasar dari SRNI.
Pertemuan Soekarno dengan Hatta tejadi sejak masa pergerakan, meskipun itu hanya sebatas melalui tulisan-tulisan dari media massa karena keduanya belum pernah bertemu dan belum saling kenal sebelumnya. Soekarno pertama mendengar nama Hatta ketika terjadi suatu peristiwa penahanan mahasiswa Indonesia di Belanda, yaitu peristiwa penahanan Hatta dan beberapa anggota PI pada tanggal 23 September 1927. Peristiwa penangkapan tersebut menuai reaksi keras dari para nasionalis dikalangan PNI dan PPPKI. Dengan penahan tersebut, Soekarno mengirimkan surat simpati kepada Hatta di Belanda. Soekarno sendiri mendirikan Founds Nasional untuk mendukung dan menggalang dana untuk membayar biaya apapun untuk melakukan pembelaan terhadap mahasiswa yang ada di Belanda (Wawan T. Alam, 2003 : 38).
Dalam persidangan tersebut, Hatta membacakan pidato Pledoi-nya (pembelaan) yang berjudul ”Indonesia Merdeka” dihadapan pengadilan Den Haag pada tanggal 9 Maret 1928. Dalam Pledoi tersebut, Hatta sangat berani mengkritik dan menyerang pemerintah Belanda dengan tulisan-tulisan yang pedas dan tajam. Akhirnya pengadilan Belanda tersebut membebaskan Hatta dan Anggota PI yang lain, dengan alasan bahwa Hatta tidak melakukan tindakan kriminal melainkan melakukan kegiatan politik.
Lebih lanjut, Soekarno juga menyatakan pembelaannya terhadap Hatta ketika diselenggarakannya kongres II Kaum Sosialis-internasional di Brussel, Swiss bulan Agustus 1928. Hasil keputusan kongres tersebut membuat Hatta marah karena adanya ketidakadilan dalam hasil keputusan kongres itu bagi Indonesia. Hatta melakukan kritik yang sangat tajam dan pedas terhadap hasil kongres, kemudian kritik dari Hatta tersebut ditanggapi oleh JE Stokvis.
Soekarno (1964 : 87) dalam bukunya yang berjudul ”Dibawah Bendera Revolusi Djilid Pertama” menjelaskan tentang tulisan pembelaan Soekarno terhadap Hatta dalam polemik antara Hatta dan Stokvis, Soekarno merasa terusik jiwanya dan membela Hatta lewat tulisannya yang berjudul “Hatta - Stokvis”. (Soeloeh Indonesia Moeda, 1928). Soekarno kecewa atas sikap para Sosialis-Internasional II. Soekarno mengkritik sikap kongres tersebut dengan membagi daerah jajahan menjadi empat bagian, pertama negara jajahan yang harus dimerdekakan sekarang juga, Kedua negara jajahan yang mendapatkan hak untuk menentukan nasib mereka sendiri, Ketiga negara jajahan yang hanya mendapat Zelfbestuur (pemerintahan sendiri), Keempat negara jajahan yang masih harus dijajah untuk waktu yang lama. Posisis Indonesia menurut hasil kongres berada dalam kelompok yang keempat, Soekarno dan Hatta memandang hasil kongres itu merugikan Indonesia.
Hatta menyerang Stokvis dengan pendekatan Ekonomi, Hatta melihat adanya faktor “rejeki” dalam permasalahan memerdekakan bangsa yang terjajah. sedangkan Soekarno menyerang dengan membuka penyimpangan dari asas perjuangan kaum sosialis sendiri, yakni menentang penjajahan atas bangsa lain. Soekarno dan Hatta dengan cermat dan teliti melihat keputusan hasil kongres tersebut. Hatta melihat adanya faktor Ekonomi yang menjadi acuan keputusan tersebut. Soekarno dengan jelas menyerang hasil keputusan kongres tersebut sebagai pengkhianatan dan penyelewengan terhadap doktrin paham sosialis itu sendiri.
Sepak terjang keduanya dalam dunia politik di dalam dan luar negeri memang mengagumkan, sehingga Soekarno dan Hatta mulai saling mengagumi antar satu sama lain. Hatta semakin kagum oleh sepak terjang Soekarno dengan PNI yang melakukan propaganda politiknya. Kekaguman sepak terjang Soekarno dan PNI ini dituangkan oleh Hatta dalam berbagai tulisan artikel-artikel. Sebaliknya, Soekarno juga mengagumi pemikiran-pemikiran Hatta. Secara tidak langsung Soekarno banyak menyerap pemikiran-pemikiran Hatta. Akan tetapi Soekarno dalam penerjemahannya menggunakan bahasa yang lebih mudah diserap dan dipahami oleh masyarakat umum.
Kegiatan politik Soekarno dan PNI mulai membuat Belanda marah, akhirnya Soekarno ditangkap dan diadili oleh pengadilan Belanda. Dampak dari hukuman yang diterima Soekarno berakibat luas, seperti pelarangan kegiatan PNI. Sementara itu, Hatta keluar dari keanggotaan PI di Belanda. Pada tahun 1931 Hatta kembali ke tanah air, bersama pendukungnya seperti Sutan Sjahrir dan Komite Perikatan Golongan Merdeka membentuk Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) dengan asas Kedaulatan Rakyat, seperti pemikiran Hatta.

0 comments:

Posting Komentar

Ebook
GRATIS UNTUK ANDA
Silahkan masukkan data diri anda pada form
di bawah ini
Name:
Email:
"Cek Email anda, jika email konfirmasi tidak masuk ke inbox anda
silahkan cek di folder junk atau spam"
website
indonesiadalamsejarah.blogspot.com