Soekarno
Latar Belakang Sosial Budaya
Soekarno, adalah keturunan asli dari Jawa, sehingga kental sekali budaya Jawa yang melekat dalam diri Soekarno. Soekarno kecil sudah menyukai dunia pewayangan, rasa kemerdekaan dan nasionalisme serta kepercayaan Soekarno tentang Ratu Adil terus ditumbuhkan melalui dunia wayang. Bernhard Dahm (1987 : 29) dalam bukunya ”Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan” menjelaskan, bahkan sebelum pergerakan nasionalis dimulai, Soekarno kecil duduk malam demi malam di muka layar, hasrat akan kemerdekaan dihidupkan terus oleh wayang, sebagaimana ia juga ditumbuhkan oleh gagasan tentang Ratu Adil.
Cerita wayang banyak mengandung filsafat dan pelajaran yang sangat dalam dan tinggi nilainya, sehingga pengaruh cerita dalam pewayangan ini sangat berkesan dalam hati dan jiwa Soekarno. Tokoh pewayangan yang menjadi idola dan menjadi contoh dari Soekarno muda adalah Bima, tokoh dari Pandawa yang tidak kenal kompromi terhadap orang-orang yang mengganggu ketertiban yang datang dari luar, tetapi ia tetap bersedia untuk berkompromi dengan orang-orang di dalam barisannya sendiri yang bersedia tunduk dalam tatanan yang sama. Sikap Soekarno ditahun-tahun kemudian yang tidak kenal kompromi terhadap orang-orang luar dan kesediaannya berkompromi dengan orang-orang seperjuangan merupakan cerminan dari tokoh Bima yang Soekarno idolakan (Bernhard Dahm, 1987 : 32). Pidato-pidato Soekarno juga sering menggambarkan perjuangan nasional sebagai perjuangan kaum sana dan kaum sini. Soekarno menggambarkan realita perjuangan Indonesia melawan Belanda seperti peperangan antara yang terjajah (Pandawa) dan penjajah (Kurawa).
J.Benda (dalam Dham 1987 : xxxix) menjelaskan, ada tiga hal yang menjadi cara berfikir dan bertindak Soekarno, dua diantaranya erat kaitannya dengan “Jawaisme” yang sudah mendarah daging dalam diri Soekarno. Pertama, kepercayaan yang lebih terhadap ramalan Jayabaya, kepercayaan Soekarno tentang kekuasaan asing di Indonesia baik Belanda dan Jepang dipandang sebagai suatu fenomena peralihan, yang menurut ramalan tersebut dan diyakini oleh jutaan orang khususnya orang Jawa “tak terelakkan lagi” akan diakhiri oleh hadirnya Ratu Adil. Kedua, kecenderungan Soekarno yang sudah mendarah daging untuk menggabungkan, mensintesakan dan melebur aliran-aliran serta kelompok-kelompok yang berbeda bahkan berlawanan, menjadi suatu kesatuan. Semua itu memiliki kecenderunagan mengesampingkan konflik dan mengembalikan hal-hal perbedaan yang bertentangan kepada satu dasar bersama. Ketiga, kesetiaan Soekarno yang menakjubkan, tak tergoyahkan dan tetap tegar kepada seperangkat gagasan yang telah dikembangkannya sejak awal dalam karir politiknya sampai saat terakhirnya.
Selain itu, banyak tulisan-tulisan Soekarno yang mencerminkan sekali betapa tradisi kebudayaan Jawa sangat melekat dalam diri Soekarno. Onghokham (dalam Dham, 1987 : xvi) mengungkapkan, hanya orang Jawa yang berakar dalam tradisi Jawa yang dapat melihat kerja sama antar tiga ideologi pada waktu itu. Pendekatan Jawa terhadap semua fenomena di dunia ini adalah “satu”. Sinkretisme Jawa melihat Nasionalisme, Islam dan Marxisme adalah satu, sebab ketiga unsur tesebut melawan imperialisme dan kolonialisme barat. Paling penting dalam Sinkretisme Jawa adalah persamaannya dan bukan pertentangannya, dalam artian Soekarno melihat ideologi yang berkembang pada waktu itu seperti Nasionalisme, Islam dan Marxis memiliki persamaan yaitu sama-sama melawan Imperialisme barat. Baik bagi kaum Nasionalis, Islam dan Marxis penjajahan adalah tantangan bersama. Ketiga aliran ini tidak sama dalam pandangan politik dan ideologinya, akan tetapi hanya memiliki musuh bersama.
Konsepsi tentang Marhaenisme Soekarno tercermin dari proses sikritisme Jawa yang berlangsung dalam pemikiran Soekarno. Hal ini dimungkinkan karena Soekarno adalah orang Jawa. Orang Jawa tidak suka mencari pertentangan, yang selalu dicarinya adalah keselarasan dan keharmonisan. Pola dasar pemikiran Soekarno adalah pola dasar tradisional, yang selalu mencari dan melihat persatuan dan kesatuan yang lebih dalam dan lebih tinggi antara unsur-unsur yang bertentangan. Dalam konteks tersebut, dapat dimengerti bahwa usaha Soekarno menyatukan ketiga aliran besar ini untuk menghasilkan satu kekuatan besar yaitu persatuan-persatuan dalam rangka mengusir penjajah.
Masa kecilnya, Soekarno bersekolah di Sekolah Bumiputra dimana muridnya sama-sama berkulit coklat dan berbicara menggunakan bahasa Jawa. Setelah naik kelas lima, oleh orang tuanya Soekarno dipindahkan ke sekolah rendah Belanda yakni Europese Lagere School (sekolah dasar Eropa). Selama sekolah di ELS, Soekarno sering mengalami perlakuan yang menyakitkan hati dan dipandang rendah oleh anak-anak Belanda. Pengalaman pahit selama sekolah menjadi bibit kebencian Soekarno terhadap Belanda. Kebencian yang mendalam terhadap Belanda menjadi pendorong bagi tindakan-tindakannya untuk menuntut kebebasan dan memulihkan harga diri bangsanya.
Setelah tamat ELS, Soekarno muda berkesempatan melanjutkan studinya di Hogere Burger School (HBS) di Surabaya. Pengalaman politik Soekarno pertama kali ketika Soekarno berkenalan dengan pemimpin Sarekat Islam (SI) yaitu Oemar Said Tjokroaminoto. Soekarno menumpang di rumah Tjokroaminoto yang ternyata bukan hanya Soekarno saja yang menjadi tamu di rumah tersebut, masih ada sekitar 30 orang yang menumpang di rumah Tjokroaminoto (Bernhard Dahm, 1987 : 33-34). Selama menumpang di rumah Tjokroaminoto, Soekarno selalu diajak untuk mengikuti pertemuan-pertemuan dan rapat-rapat, sehingga Soekarno dapat berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti KH. Ahmad Dahlan, Douwes Dekker, Tjipto Mangnkusumo, Agus Salim, Alimin, dan Darsono. Kesempatan tersebut digunakan oleh Soekarno untuk bertukar pikiran dengan para tokoh-tokoh tersebut.
Setelah tamat HBS, Soekarno melanjutkan studinya di Tecnische Hooge School di Bandung dan tamat tahun 1926. Selama masa kuliah itulah Soekarno muda mengalami pematangan mengenai pandangan dan pemikiran politiknya. Pandangan politik Soekarno waktu itu berdasarkan kepada keadaan masyarakat sekitar. Konsep politik Soekarno didasarkan pada tiga aliran atau ideologi yang ada pada waktu itu merupakan mayoritas dikalangan masyarakat Indonesia. Seperti yang tertulis dalam bukunya “Dibawah Bendera Revolusi”, tiga ideologi yang menjadi konsep pandangan politik Soekarno adalah Nasonalisme, Islamisme dan Marxisme (Soekarno, 1964 : 2-3). Lebih jauh dalam buku Soekarno tersebut menyebutkan, bahwa inilah azas-azas yang digunakan oleh pergerakan-pergerakan rakyat diseluruh Asia. Paham itulah yang menurut Soekarno merupakan paham-paham yang menjadi rohnya pergerakan di Asia, juga merupakan rohnya pergerakan di Indonesia. Pada waktu itu, semua pergerakan perjuangan yang ada di negara-negara kawasan Asia menerapkan ideologi-ideologi tersebut, khusus di Indonesia, ideologi Nasionalis, Islam dan Marxis cepat tumbuh dan berkembang.
Orientasi Politik
Sosialisasi politik Soekarno dimulai ketika melanjutkan sekolahnya ke HBS di Surabaya. Selama di Surabaya, Soekarno tinggal bersama teman ayahnya yaitu Tjokroaminoto yang merupakan seorang tokoh dari SI (Sarekat Islam). Di rumah Tjokroaminoto inilah, Soekarno muda mulai memasuki dunia politik dan juga mengenal tokoh-tokoh pergerakan seperti KH. Ahmad Dahlan, Tjipto Mangnkusumo, Agus Salim, Alimin, dan Darsono.
Pada usia 20 tahun Soekarno mengenal semua bentuk aliran politik dalam pergerakan Indonesia dan memiliki klasifikasi ideal bagi tugas menciptakan persatuan. Soekarno sudah tidak asing lagi dengan semua ideologi itu, dan belakangan Soekarno memperdalam teori-teori Marxisme dan tentang kebangkitan kembali Islam. Seruan Soekarno kepada ke tiga aliran besar di Indonesia itu untuk bersatu dan bekerja sama dituangkannya dalam sebuah artikel yang beliau tulis setelah tiga bulan beliau menyelesaikan studinya di THS. Artikel itu beliau namakan “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” di sebuah majalah Indonesia Moeda, majalah Studieclub di Bandung.
Soekarno mencari rahasia untuk mempersatukan orang-orang Islamis, Nasionalis dan Marxis. Menurut Soekarno, rahasia itu harus dicari dalam tradsi-tradisi timur, bukan dari terminologi sarjana-sarjana Eropa. Walau demikian, Soekarno telah melakukan pencarian yang lama sebelum ia sampai kepada suatu rumusan yang dapat memuaskan golongan Nasionalis, Marxis dan Islam (Bernhard Dahm, 1987 : 82). Hasil pencarian Soekarno mengenai rahasia mempersatukan tiga golongan besar di Indonesia. Soekarno (1964 : 5-6) dalam bukunya ”Dibawah Bendera Revolusi”. Seperti yang dikutip berikut ini
“Nasionalis jang sedjati, jang tjintanja pada tanah air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi dunia dan riwajat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka. Nasionalis jang bukan chauvinis, tak boleh tidak, haruslah menolak segala faham pengetjualian jang sempit budi itu. Nasionalis jang sedjati, jang nasionalismenja itu bukan semata-mata suatu copie atau tiruan dari nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa tjinta akan manusia dan kemanusiaan. Nasionalis jang menerima rasa nasionalismenja itu sebagai suatu wahju dan melaksankan rasa itu sebagai bukti, adalah terhindar dari segala faham jang keketjilan dan kesempitan. Baginja, maka rasa tjinta bangsa itu adalah lebar dan luas, dengan memberi tempat pada lain-lain sesuatu. Sebagai lebar dan luasnja udara jang memberi tempat pada segenap sesuatu jang perlu untuk hidupnja segala hal jang hidup”
Nasionalisme bagi Soekarno merupakan kerangka bersama bagi semua unsur yang anti imperialisme, anti barat. Pandangan Soekarno tentang nasionalisme banyak berasal dari pandangan Islam. Pada masa kejayaan SI, Islam dipandang sebagai simbol sikap mengandalkan kekuatan diri sendiri, sikap anti barat dan akhirnya sikap anti imperialisme. Prinsip tersebut dalam kurun waktu yang lama telah berfungsi sebagai suatu jaminan bahwa semua aliran politk yang dimotivasi oleh kekuatan itu dapat disatukan dalam Sarekat Islam. Soekarno mengadopsi prinsip-prinsip dan cara dari PI yang sama luasnya dalam melandasan nasionalismenya (Bernhard Dahm, 1987 : 85).
Soekarno menyerukan kamu nasionalis untuk bekerja sama dengan islam dan Marxis. Menurut orang nasionalis, Islam telah menjadi pengemban semangat kemerdekaan di timur dan menuntut penganutnya di seluruh dunia islam untuk bekerja dan mensejahterakan rakyatnya dimana mereka tinggal. Marxisme menurut prinsip dasarnya merupakan sekutu alami dari pergerakan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, menurut Soekarno tidak ada rintangan lagi bagi kerja sama yang lebih erat antar orang nasionalis dengan orang-orang Islam dan Marxis.
Tanggal 4 Juli 1927, Soekarno mendirikan sebuah partai yang digunakan sebagai wadah perjuangan dan untuk menyatukan seluruh masyarakat Indonesia dengan tidak membedakan suku dan budayanya yaitu PNI Soekarno melihat perkumpulan-perkumpulan seperti Budi Utomo, Indische-Partij dan Sarekat Islam dalam perjuangannya masih tercermin sifat kesukuan atau kedaerahannya, keagamaanya dan memiliki tujuan sendiri-sendiri. Ini yang membuat cita-cita perjuangan kemerdekaan tidak dapat diwujudkan.
Soekarno dalam mendirikan partai menggunakan asas ”Marhaenisme”, dasar dari Marhaenisme adalah Sosio Demokrasi dan Sosio Nasionalis. Sosio Nasionalis yaitu asas kebangsaan yang berkemanusiaan dan Sosio Demokrasi yaitu asas kesamaan yang berdasarkan kebersamaan atau gotong royong. Istilah-istilah maupun dasar-dasar Marhaenisme, diciptakan dan dilahirkan sendiri oleh Soekarno. Menurut Soekarno, Marhaenisme adalah sosialisme dalam praktek dan tidak ada penghisapan tenaga seseorang oleh orang lain seperti dalam praktek Kapitalisme dan Imperialisme.
PNI sebagai partai politik pertama yang mendasarkan pada nasionalisme. Sesuai dengan tujuannya, PNI terbuka bagi setiap masyarakat Indonesia dan bergabung menjadi barisan yang revlusioner. Barisan yang bersifat radikal dan menghendaki perubahan secara cepat. PNI dalam perjuangannya menggunakan cara-cara yang radikal dengan cara propaganda agar masyarakat sadar tujuan pergerakan nasional. Marhaenisme sebagai dasar perjuangan melawan kapitalisme merupakan praktek dari sosialisme Indonesia. Sosialisme yang di makhsud Soekarno adalah sosialisme campuran, bukan sosialisme yang ekstrem seperti ajaran komunis.
PNI mempunyai satu tujuan seperti yang tertera dalam Anggaran Dasarnya, yaitu cita-cita ingin menyatukan bangsa Indonesia tanpa membeda-bedakan golongan, suku dan agama. Cita-cita ini sejalan dengan pemikiran Soekarnoselaku pencetus dan pendiri Marhaenisme. PNI telah memasukkan diri kedalam kelompok partai yang nasionalis yang bercorak modern dalam masa kolonial atau sebagai organisasi pergerakan nasional yang bergerak dalam bidang politik.
Atas gagasan Soekarno maka dibentuklah suatu federasi yang mewadahi semua aliran politik, partai politik dan perkumpulan-perkumpulan. Pembentukan tersebut dihadiri oleh perwakilan dari partai-partai besar seperti PNI baru, PSI, Budi Utomo, Pasundan, Sumatera Nenbond, Kaum Betawi dan Indonesische Studieclub. Pembentukan tersebut diberinama PPPKI (Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia).
1 comments:
informasi yang cukup bermanfaat untuk menambah pengetahuan.
Posting Komentar